Terdengar suara deruman mobil memasuki garasi rumah Atla. Buru-buru Kaza berlari keluar dari ruangan Atla menghampiri Jerian. Baru saja Jerian menginjakkan kaki di ruang tengah, Kaza sudah menubruknya dengan pelukan disertai tangisan.

Jerian yang terkejut mendapat hal itu tentu heran, “Kaza kenapa? Kok nangis?”

Bukannya menjawab, Kaza malah memberikan surat yang tadi ia baca. Jerian membaca surat itu dan paham kenapa adiknya menangis seperti tadi.

“Sstt! Udah ya, Kaza jangan nangis. Nanti papa sedih gimana? Kaza harus kuat, okey?”

Kaza mengangguk sekilas lalu mengusap air matanya. Ia membuka ponsel mencari sebuah gambar.

Gambar percakapan yang tadi ia ambil dari ponsel Atla ia berikan kepada Jerian.

“Baca.”

Jerian mengerutkan keningnya, “Abang gatau masalah ini.”

“Pak Gio punya tekad buat terus kerjasama sama Papa. Dan sekarang papa ga ada akhirnya dia bisa kerjasama saka abang, aneh bukan?”

“Kita tanya Om Jo, mau?”

Kaza mengangguk antusias. Ia sangat berharap Johan dapat membantu mereka mendapatkan jawaban atas kematian Atla.

“Okey, nanti kita tanya Om Jo. Sekarang Kaza tidur ya, udah malem.”

“Bang,”

“Ya?”

“Janji kalo abang ga akan pergi tinggalin aku juga ya?”

Jerian menangkup wajah Kaza sambil tersenyum, “Janji. Apapun yang terjadi, abang janji ga akan tinggalin Kaza.”

Kaza membalas ucapan Jerian dengan senyum manisnya, “Night abang.”

Kaza pergi ke kamarnya untuk beristirahat. Menyiapkan diri untuk hari esok yang mungkin akan terasa melelahkan.