mazcchiato

Kaza berdiri di depan pintu toilet, menunggu Karin yang berada di dalam. Tangannya memegang sebuah roti pesanan Oliv dan es jeruk milik Karin. Sesekali ia berbalas sapa beberapa siswa yang lewat. Sejak kejadian ia melawan Clara, banyak siswa yang begitu senang menyapa dirinya.

Diliriknya jam tangan berwarna silver ditangan sebelah kiri,.15 menit lagi bel masuk berbunyi. “Rin! Udah belum? Mau bel nih,” ucap nya.

Karin berjalan sambil merapikan pakaiannya, “Udah yuk.” Kaza memberikan es jeruk milik Karin, namun setengah isi minuman tersebut malah mengguyur rok milik Kaza karna ada yang menyenggol dirinya.

“Kaza!” Karin memekik tertahan melihat Kaza yang terkejut karna roknya basah.

Tak lain dan tak bukan, orang yang menyenggol lengan Kaza adalah Clara. “Yahh, maaf ya sengaja,” ujar Clara diikuti dengan suara gelak tawa dari teman temannya.

Tak sedikit siswa yang sedang berada disekitar sana berhenti menyaksikan adegan itu hingga membuat kerumunan. Disaat Clara dan temannya asik tertawa, Kaza menatap Clara geram.

Byur Kaza menyiramkan sisa minuman tadi tepat ke rambut Clara. Bisa dibayangkan betapa lengketnya rambut Clara pagi itu. “Yahh, sengaja juga nih gue.”

Bisikan bisikan dari siswa yang menonton pun terdengar. Ada yang tertawa puas, ada yang diam diam merekam dirinya dan itu sukses membuat Clara menahan malu, “Sialan! Bener bener lo gada takut takutnya sama gue!”

“Dih? Lo siapa sampe harus gue takutin? Ogah banget takut sama sampah kaya lo,” ucap Kaza.

Karin yang menyadari makin ramai siswa yang menonton pun menarik Kaza pergi dari sana, “Udah deh, gada abisnya ngeladenin nenek lampir. Mending bersihin rok lo aja yuk.”

Mereka pun pergi meninggalkan kerumunan dan juga Clara yang masih berteriak melontarkan umpatannya kepada Kaza.


Sesampainya di kelas, Kaza langsung duduk di bangkunya. Oliv melihat rok yang Kaza gunakan basah langsung bertanya, “Rok lo kenapa anjir? Kok basah?”

“Disiram nenek lampir,” itu bukan jawaban dari Kaza, melainkan dari Karin.

Oliv menggebrak meja hingga menimbulkan suara, “Hah?!” KOK BISA??”

“Bisa ga jangan gebrak meja? Kaget gue,” ucap Karin.

“Ihh jawab gue dulu, kok bisa disiram?”

Karin yang menjelaskan kepada Oliv karna Kaza sedang sibuk membersihkan rok nya dengan tisu.

Selesai bercerita, Oliv menatap Karin dengan tatapan tak percaya. “Anjir bener bener ya tuh orang, ga ada abis nya cari masalah.”

“Za, ganti pake rok gue mau?” tawar Oliv.

Kaza mendongak melihat Oliv, “Lo bawa dua?” Oliv menganggukan kepalanya.

“Ini rok sengaja gue tinggal di loker, buat jaga jaga sih. Pake aja,” ucap Oliv sambil memberikan rok cadangannya.

“Thanks ya.” Baru saja bangun dari duduknya, suara dari speaker sekolah menyebut nama Kaza.

'Perhatian, kepada Kazalea kelas 12 IPS 2 diharap segera ke ruang kepala sekolah, terima kasih.'

Tentunya se isi kelas menatap dirinya, 'Lagi? Dasar, tukang bully kok ngaduan.'

Hampir 15 menit Kaza menunggu kedatangan Adisty disalah satu meja cafe. Matanya memperhatikan sekeliling isi cafe siang itu.

Ting! bunyi notifikasi pesan dari Adisty yang mengabarinya bahwa ia sudah sampai di sana. Setelah membalas pesan, dapat Kaza lihat Adisty sedang berjalan dengan sedikit terkejut karna tahu orang yang mengirimnya pesan adalah Kazalea.

“Halo, Adisty.” sapa Kaza pertama kali. “Biasa aja kali, kaget ya?”

“To the point aja, mau lo apa?” sahut Adisty.

Kaza terkekeh mendengar ucapan Adisty, “Gamau pesen minum dulu? Gue yang bayar kok.”

Terlihat bahwa Adisty seperti tidak ingin berlama lama disana. “So, lo udah denger kan rekaman yang gue kasih semalem? Gue cuma minta lo jelasin, kenapa lo palsuin data itu?”

Adisty seperti menimbang nimbang untuk menjawab pertanyaan itu. Sorot matanya menggambarkan rasa takut dan bimbang.

“Jawab gue Adisty,” ucap Kaza.

Bukannya menjawab, ia malah melontarkan pertanyaan kepada Kaza, “Lo sebenernya siapa? Sampe mau tau segitunya?”

Kaza tersenyum, “Gue nanya, kok nanya balik?”

“Lo tau nama belakang pak Jerian?” Kaza melemparkan pertanyaan lagi.

Adisty menganggukan kepalanya, “Atlanno.”

Kaza mendekatkan wajahnya menatap Adisty masih dengan senyum manisnya, “Udah tau nama belakang gue?” Adisty menggeleng.

“Kazalea Atlanna.” ucapan Kaza semakin membuat Adisty bingung.

Semua yang mengenal Atla tahu bahwa ia memiliki dua orang anak yang memiliki nama belakang Atlanno dan Atlanna. Tetapi mereka hanya tau Atlanno, tidak dengan Atlanna. Karna selama ini, identitas Atlanna disembunyikan. Sehingga setiap menuliskan namanya, Kaza hanya menulis 'Kazalea A atau Kazalea Atln' seperti nama sosial media miliknya.

“Lo .... ?”

“Gue adiknya pak Jerian. Jadi, lo mending jujur ke gue atau rekaman suara itu bakal sampe ke abang gue.”

Adisty memandang Kaza dengan takut, “Oke, gue cerita semuanya. Tapi lo harus janji, jangan sampe Clara tau kalo gue cerita sama lo. Gue gamau jadi korban Clara.”

“Tenang, selagi lo ikutin arahan gue, lo aman.”

“Awalnya dari setahun setelah bu Retna jadi kepsek. Sekolah yang tadinya ga pernah pungut biaya apapun selain spp, tiba tiba kepsek ngeluarin surat buat pemintaan dana ke siswa. Ayah gue yang kepala TU awalnya ngerasa kaget tapi ngiranya itu arahan dari pak Jerian,”

“Tapi lama kelamaan, hal itu berlanjut sampe sekarang. Ayah gue udah curiga, ayah tanya ke bu Retna kenapa pak Jerian suruh dia minta dana ke siswa, tapi ayah gue malah diancem dicabut jabatannya kalo ga ikutin apa kata bu Retna.”

Kaza sangat terkejut dengan penjelasan Adisty. Dirinya menyimak baik baik ucapan yang keluar dari mulut Adisty.

“Terus Clara?”

Adisty menghela nafasnya, “Dia berani ngebully karna ibu nya, bu Retna. Dia pikir karna bu Retna jadi kepsek, dia jadi bisa ngusain sekolah. Dia juga disuruh buat ancem gue, kalo gue ga palsuin data itu, gue bakal di drop out apapun alasannya.”

Mata Adisty mulai berkaca kaca setelah selesai berbicara. Dari penjelasannya, Kaza tahu bahwa apa yang dibilang Oliv kalau Adisty anak baik baik, memang benar adanya. Ia melakukan itu karena terpaksa.

“Lo tenang aja ya Dis, gue bakal bantu lo dan ayah lo lepas dari ancaman mereka. Dan selama gue ngumpulin bukti yang lain sampe bisa buat bongkar semuanya, gue pastiin lo aman,” ucap Kaza menenangkan.

“Tapi gue tetep butuh bantuan lo, bisa?”

Adisty menjawab dengan semangat, “Bisa kok! Makasih ya Lea, gue bersyukur banget akhirnya ada yang bisa ngelawan Clara.”

Kaza menganggukan kepalanya sambil tersenyum, “Iya, yaudah gue balik ya. Lo mau bareng?”

“Engga, nanti gue naik ojol aja.”

“Bener nih?”

“Iya Lea,”

“Oke deh, gue duluan ya.”

Hampir 15 menit Kaza menunggu kedatangan Adisty disalah satu meja cafe. Matanya memperhatikan sekeliling isi cafe siang itu.

Ting! bunyi notifikasi pesan dari Adisty yang mengabarinya bahwa ia sudah sampai di sana. Setelah membalas pesan, dapat Kaza lihat Adisty sedang berjalan dengan sedikit terkejut karna tahu orang yang mengirimnya pesan adalah Kazalea.

“Halo, Adisty.” sapa Kaza pertama kali. “Biasa aja kali, kaget ya?”

“To the point aja, mau lo apa?” sahut Adisty.

Kaza terkekeh mendengar ucapan Adisty, “Gamau pesen minum dulu? Gue yang bayar kok.”

Terlihat bahwa Adisty seperti tidak ingin berlama lama disana. “So, lo udah denger kan rekaman yang gue kasih semalem? Gue cuma minta lo jelasin, kenapa lo palsuin data itu?”

Adisty seperti menimbang nimbang untuk menjawab pertanyaan itu. Sorot matanya menggambarkan rasa takut dan bimbang.

“Jawab gue Adisty,” ucap Kaza.

Bukannya menjawab, ia malah melontarkan pertanyaan kepada Kaza, “Lo sebenernya siapa? Sampe mau tau segitunya?”

Kaza tersenyum, “Gue nanya, kok nanya balik?”

“Lo tau nama belakang pak Jerian?” Kaza melemparkan pertanyaan lagi.

Adisty menganggukan kepalanya, “Atlanno.”

Kaza mendekatkan wajahnya menatap Adisty masih dengan senyum manisnya, “Udah tau nama belakang gue?” Adisty menggeleng.

“Kazalea Atlanna.” ucapan Kaza semakin membuat Adisty bingung.

Semua yang mengenal Atla tahu bahwa ia memiliki dua orang anak yang memiliki nama belakang Atlanno dan Atlanna. Tetapi mereka hanya tau Atlanno, tidak dengan Atlanna. Karna selama ini identitas Atlanna disembunyikan. Sehingga setiap menuliskan namanya, Kaza hanya menulis 'Kazalea A atau Kazalea Atln' seperti nama sosial media miliknya.

“Lo .... ?”

“Gue adiknya pak Jerian. Jadi, lo mending jujur ke gue atau rekaman suara itu bakal sampe ke abang gue.”

Adisty memandang Kaza dengan takut, “Oke, gue cerita semuanya. Tapi lo harus janji, jangan sampe Clara tau kalo gue cerita sama lo. Gue gamau jadi korban Clara.”

“Tenang, selagi lo ikutin arahan gue, lo aman.”

“Awalnya dari setahun setelah bu Retna jadi kepsek. Sekolah yang tadinya ga pernah pungut biaya apapun selain spp, tiba tiba kepsek ngeluarin surat buat pemintaan dana ke siswa. Ayah gue yang kepala TU awalnya ngerasa kaget tapi ngiranya itu arahan dari pak Jerian,”

“Tapi lama kelamaan, hal itu berlanjut sampe sekarang. Ayah gue udah curiga, ayah tanya ke bu Retna kenapa pak Jerian suruh dia minta dana ke siswa, tapi ayah gue malah diancem dicabut jabatannya kalo ga ikutin apa kata bu Retna.”

Kaza sangat terkejut dengan penjelasan Adisty. Dirinya menyimak baik baik ucapan yang keluar dari mulut Adisty.

“Terus Clara?”

Adisty menghela nafasnya, “Dia berani ngebully karna ibu nya, bu Retna. Dia pikir karna bu Retna jadi kepsek, dia jadi bisa ngusain sekolah. Dia juga disuruh buat ancem gue, kalo gue ga palsuin data itu, gue bakal di drop out apapun alasannya.”

Mata Adisty mulai berkaca kaca setelah selesai berbicara. Dari penjelasannya, Kaza tahu bahwa apa yang dibilang Oliv kalau Adisty anak baik baik, memang benar adanya. Ia melakukan itu karena terpaksa.

“Lo tenang aja ya Dis, gue bakal bantu lo dan ayah lo lepas dari ancaman mereka. Dan selama gue ngumpulin bukti yang lain sampe bisa buat bongkar semuanya, gue pastiin lo aman,” ucap Kaza menenangkan.

“Tapi gue tetep butuh bantuan lo, bisa?”

Adisty menjawab dengan semangat, “Bisa kok! Makasih ya Lea, gue bersyukur banget akhirnya ada yang bisa ngelawan Clara.”

Kaza menganggukan kepalanya sambil tersenyum, “Iya, yaudah gue balik ya. Lo mau bareng?”

“Engga, nanti gue naik ojol aja.”

“Bener nih?”

“Iya Lea,”

“Oke deh, gue duluan ya.”

Suasana kantin siang ini ramai seperti biasanya. Kaza bersama temannya memilih untuk menempati meja di pojok kantin dekat halaman belakang.

“Lea, lo mau apa?” tanya Oliv.

“Bakso aja deh, minumnya es teh ya.”

“Lo Rin?” Karin menatap satu persatu stan makanan disana, “Soto deh, jangan pake kecap ya. Minumnya kaya biasa.”

“Nih,” Kaza memberikan selembar uang berwarna merah. “Pake ini aja, sisanya terserah mau lo beliin apa.”

“Wuihh, okee. Tunggu ya, pesanan akan sampai dalam 3 tahun.”

Karin mendelik kearah Oliv, “Keburu gue lulus.”

Kaza memperhatikan sekeliling isi kantin. Ada yang fokus memakan pesanannya, ada yang mengobrol, ada juga yang asik berpacaran. Hingga ....

Plak bunyi tamparan yang begitu nyaring terdengar dari meja kantin yang berada ditengah.

“Rin?” Kaza menatap Karin tak percaya setelah melihat kejadian di sebrang sana.

Karin hanya mengangguk pelan, “Ya .... gitu lah Za, pada diem kan?”

Ada seorang siswi yang ditampar oleh Clara. Tetapi semua hanya melihat kejadian itu tanpa membantu, atau mungkin lebih tepatnya takut berhadapan dengan Clara.

Kaza bangkit dari duduknya, berjalan menghampiri mereka. Karin hanya memperhatikan apa yang akan Kaza lakukan dari jauh.

Keadaan kantin yang tadinya tetap ramai pun jadi diam ketika Kaza berdiri didepan siswi itu.

“Minggir.” ucap Clara seolah tak ingin kegiatannya dihalangi.

Kaza tetap diam menatap Clara dengan tajam. “Gue bilang minggir!” bentak Clara. Namun, bentakannya tak Kaza hiraukan.

Clara terlihat geram dibuatnya, tangannya bergerak ingin menjambak rambut Kaza. Namun tak berhasil, tangannya ditahan oleh Kaza dan diputar membuat tubuh Clara berbalik. Clara merintih kesakitan, teman temannya seperti ingin memisahkan namun terlihat takut.

Didorongnya tubuh Clara hingga ia terjatuh. Ramai siswa yang menonton kejadian itu. Kaza, siswi pertama yang berhasil menghalangi Clara melakukan bully.

Kaza berjongkok dihadapan Clara, “Mulai hari ini, siapapun yang berani ngebully siswa disini, berurusan sama gue.”

“Lo gausah sok jadi pahlawan buat mereka! Lo gatau berurusan sama siapa?!”

Kaza hanya tersenyum sinis menatap Clara. Dirinya kembali berdiri dan pergi meninggalkan kerumunan itu.

Oliv terlihat cemas ketika Kaza kembali ke meja mereka, “Lea lo gapapa?”

“Kaya yang lo liat? I'm fine.”

Baru saja ingin meminum es teh miliknya, sebuah suara membuat mereka bertiga, terutama Kaza menoleh.

“Kazalea, lo dipanggil ke ruang kepsek.”

Suara Kaza membuat Jerian yang tadinya ingin membuka pintu mobil terhenti, “Abang tunggu sebentar ya, aku mau kesana.”

“EH! KAZA MAU KEMANA? HUJAN NIH!” suara Jerian sedikit teriak ketika Kaza mulai jauh dari pandangannya.

Akhirnya Jerian memutuskan untuk masuk duluan ke dalam mobil. Dirinya sedikit merasa cemas karna hujan mulai turun deras. Tak berselang lama, Kaza kembali dan masuk ke dalam mobil dengan baju yang sedikit basah.

“Kamu darimana? Tuh kan basah,” ucap Jerian lalu mengambil jaket yang memang ia simpan di jok belakang.

“Selamat hari abang!” sahut Kaza dengan sebuah kotak berisi kue rasa coklat ditangannya.

Jerian terkejut dengan hal itu, ia tak mengerti dengan maksud Kaza. “Za? Maksudnya?”

Kaza tersenyum lebar hingga giginya sedikit terlihat, “Karna papa udah ga ada dan abang yang gantiin perannya, jadi aku ucapin ke abang,”

Jerian terdiam tak membalas ucapan Kaza, dirinya benar benar tidak menduga Kaza akan memberinya kejutan kecil seperti ini. “Gamau dimakan kuenya?” tanya Kaza.

Bukannya menjawab, Jerian justru memeluk Kaza dengan erat. “Thank you, abang sayang banget sama Kaza.”

Kaza mengelus punggung Jerian dengan tangan kanannya karna tangan kirinya memegang kue, “Aku juga sayang abang. Makasih ya udah mau jaga Kaza, makasih juga karna udah jadi papa, mama, sekaligus abang buat Kaza.”

“Itu udah jadi tugas abang Za,”

Tak terasa keduanya menangis ditengah pelukan. Suasana semakin mendukung ketika hujan benar benar turun dengan deras.

“Eum .... abang, mau sampe kapan peluk Kaza? Pegel nih megang kue,” keluh Kaza.

Jerian melepas pelukannya sambil tertawa kecil, “Makannya di rumah aja ya?”

“Oke!”

Mobil hitam milik Jerian memasuki pintu masuk  pemakaman umum di daerah Jakarta. Disampingnya ada Kaza yang sedang memeluk erat buket bunga untuk diletakkan dimakam orang tua mereka.

Setelah memarkirkan mobilnya, keduanya berjalan menuju letak makam orang tua mereka berada.

“Hai papa!” ucap Kaza saat pertama kali sampai disamping makam papanya.

Jerian tersenyum ketika melihat Kaza begitu antusias berbicara didepan makam.

“Papa tau? Hari ini hari ayah, jadi aku dateng sama abang buat ucapin itu ke papa. Selamat hari papa! Papa adalah laki laki pertama yang aku sayang,” Kaza melirik kearah Jerian sebentar dengan tertawa kecil.

“Abang jangan iri. Setelah papa, abang adalah laki laki kedua yang aku sayang. Aku kangen deh sama papa, papa kangen aku juga ga? Harus kangen! Kalo engga nanti aku ngambek.”

Rasanya saat itu juga Jerian ingin menangis. Melihat senyum Kaza yang seolah memperlihatkan bahwa ia baik baik saja. Diumurnya yang masih belia, harus merasakan kehilangan kedua orangtuanya sekaligus. Disaat anak lain memberikan ucapan selamat hari ayah secara langsung, Kaza harus datang ke makam sang papa terlebih dahulu.

“Oh iya, hari ini aku ga sekolah. Papa jangan marah ya? Kan aku izin ga sekolah karna mau datengin papa sama mama. Papa, abang berhasil jaga aku kayak papa kok! Jadi papa gausah khawatir ya? Aku aman selagi sama bang Je.” ucap Kaza dengan senyumnya yang manis sambil melihat ke arah Jerian.

“Loh? Abang kenapa nangis?” tanyanya ketika melihat Jerian menitikan air matanya.

“Hah? Engga kok,” buru buru ia menghapus air matanya. “Abang gamau ngucapin papa?”

Jerian menganggukan kepalanya lalu sedikit bergeser mendekati nisan yang bertuliskan nama papanya, Atla Bramanta.

“Halo pa! Jerian dateng lagi sama Kaza. Selamat hari papa! Papa adalah laki laki terhebat, laki laki kuat, laki laki yang berhasil menjaga keluarganya sampai akhir hidup papa. Aku bangga, aku bisa ga ya kayak papa?” Jerian merasakan tangannya digenggam oleh Kaza.

Dilihatnya Kaza menggenggam tangannya dengan tersenyum lembut, seolah olah meyakini nya bahwa ia bisa seperti Atla.

“Aku janji .... aku janji akan jaga Kaza, sampai dia menemukan laki laki lain yang bisa menjaganya layak nya aku dan papa menjaga dia.” ucap Jerian dengan tulus.

“Kita pulang yuk?” ajak Jerian.

“Papa aku pamit ya, nanti aku kesini lagi. Dadah papa!”

Jerian menggandeng tangan Kaza saat berjalan kembali menuju mobil. Mereka sedikit berlari kecil karna tiba tiba rintik hujan mulai berjatuhan.

Tepat pukul 12.30 Juan menepati janjinya untuk menjemput Kaza di sekolah. Dirinya menunggu disalah satu kursi didekat parkiran. Banyak mata memandang dirinya. Siapa yang tidak kenal Juananta Ardanio? Seorang model sukses diusia muda yang juga merupakan owner cafe terkenal di beberapa kota besar.

Juan melihat Kaza yang menggendong tas berwarna biru muda berjalan bersama teman temannya kearah Juan. “Hai sayang!” sapa Juan.

Kaza menatap Juan nyalang, “Lo jangan mulai deh, ntar gue kena julid lagi,”

Juan hanya tertawa kecil membuat beberapa siswi yang berada disana terkagum melihat Juan.

“Anjir ganteng banget,” “Manis banget senyumnya,” “Ternyata lebih ganteng secara langsung,”

Begitu kira kira ucapan beberapa siswi disana. Kaza mulai jengah dengan kelakuan Juan yang benar benar tebar pesona. “Udah, ayo pulang,” ajaknya.

“Sebentar, gue mau ambil rekap data ke tata usaha,”

“Cepetan,”

“Sabar dong sayang,”

Kaza menatap Juan kesal, “Bener bener lo Juananta!”

Karin dan Oliv hanya tertawa melihat Kaza yang nampaknya sangat kesal. “Jahilnya bang Juan dari dulu ga ilang ya,” ucap Oliv.

“Emang, kadang gue capek dijahilin mulu sama dia,” keluh Kaza.

Karin menyenggol lengan Oliv lalu menunjuk kearah pojok parkiran. “Itu anak kelas mipa 1 bukan? Mau dibawa kemana tuh?”

“Lah iya, mau diapain tuh sama nenek lampir?”

Clara terlihat tengah membawa seorang siswi kearah pojok parkiran. Kaza yang merasa curiga pun melangkahkan kakinya mendekati mereka, “Eh Za! Mau ngapain?” ujar Karin.

“Kalian tunggu disini aja, gue cuma sebentar.”

Kaza berdiri dibalik tembok yang menutupi dirinya agar tidak ketahuan. Secara diam diam ia mendengarkan percakapannya, tak lupa ia juga merekam perbincangan itu.

“Rekap data keuangan yang masuk udah lo palsuin?” Kaza terkejut bukan main mendengar pertanyaan pertama dari Clara.

“Bener ga? Lo tau kan hari ini data itu mau dikasih ke pak Jerian?”

“Iya tau. Udah gue palsuin kaya biasanya.”

“Oke, bagus. Kalo sampe nanti ketauan, lo bakal tau akibatnya. Paham?!”

Kaza buru buru meninggalkan mereka ketika melihat Clara ingin pergi dari sana.

'Udah gila kali ya itu orang, pake ngancem anak lain segala. Gue harus cari tau siapa anak itu. Ini bakal jadi salah satu bukti. Gue yakin, gue pasti dapet satu persatu bukti lainnya.'

Kaza menikmati harum wangi dedaunan yang terkena hujan sore ini.

“Heh bocil!” suara Juan membuatnya menoleh ke belakang.

“Cal cil cal cil aja nih orang,” sahutnya.

Juan ikut duduk disampingnya lalu membuka toples berisi cookies dihadapannya.

“Jangan dihabisin, itu baru gue isi.”

Juan berdecak pelan, “Yaila pelit amat nih orang kaya satu.”

Kaza memang akrab dengan Juan sejak kecil. Karena dulu, Kaza sering tinggal di rumah Juan ketika kedua orangtuanya sedang keluar kota.

“Jadi lo mau cerita apa?” tanya Juan.

Kaza terdiam sejenak, berfikir untuk memulai cerita darimana. “Data keuangan sekolah sama lo kan bang?” Juan mengangguk, “Iya, emang kenapa?”

“Lo tau ga kalo selama ini sekolah suka mintain uang diluar ketentuan?”

Juan mengerenyitkan dahinya, “Maksudnya?”

“Lo tau temen gue kan si Karin? Dia kan Osis, trus dia cerita ke gue kalo selama ini sekolah suka minta uang berlebih dibanding sama ketentuan yang ada.”

“Hah? Gimana bisa?”

Kaza mengganti posisi duduknya menghadap Juan, “Kata Karin duitnya di tilep sama kepsek.”

Juan membulatkan matanya, ia terkejut dengan penuturan Kaza. “Lo jangan ngarang ya Za, jelas jelas data nya aman kok ga ada yang kurang.”

“Ngapain sih Karin ngarang? Kemarin, gue juga denger salah satu anak ada yang ngeluh pas tau acara semesteran nanti biayanya ga main main.”

“Lah setau gue pihak sekolah ga pernah mintain uang buat acara gituan,” sanggah Juan.

“TUH KAN!” ucap Kaza dengan kesal.

“Gue tau setiap akhir semester pasti ada acara, tapi gue gatau kalo ternyata pihak sekolah minta dana ke siswanya. Tahun kemarin itu ada acara besar besaran, terus gue tanya ke kepseknya katanya ga diminta biaya apapun.”

“Kita harus selidikin ga sih bang? Kalo didiemin makin menjadi.”

Juan mengangguk cepat, “Harus! Ga bisa didiemin nih yang kaya gini, gila bisa bisanya.”

“Eh tapi bang Ian tau ga?”

Kaza menggelengkan kepalanya. “Lah kok gatau?”

“Abang ga percaya kalo kepseknya ga bener, gue juga gada bukti nyata buat kasih tau abang.”

“Oiya.. didata sama uang yang masuk aman aman aja,”

Tangan Kaza mulai membuka bungkus batagor yang dibawa Juan tadi.

“Terus gimana caranya buat punya bukti?” tanya Juan.

Kaza yang baru mau menyuapkan batagor ke mulutnya pun menoleh, “Gampang, itu biar gue urus.”

Tangannya sudah bersiap ingin memasukkan batagor itu ke mulutnya.

“Terus gue ngapain?”

Lagi, Kaza memberhentikan kegiatannya. “Nanti kalo gue minta bantuan lo, gue kasih tau.”

“Eh tapi Za—”

“BANG JUAN ELAH INI MAU MAKAN DARI TADI GA JADI JADI!” kesalnya.

Juan hanya tertawa terbahak bahak melihat Kaza yang kesal karna ulahnya.

Kaza menikmati harum wangi dedaunan yang terkena hujan sore ini.

“Heh bocil!” suara Juan membuatnya menoleh ke belakang.

“Cal cil cal cil aja nih orang,” sahutnya.

Juan ikut duduk disampingnya lalu membuka toples berisi cookies dihadapannya.

“Jangan dihabisin, itu baru gue isi.”

Juan berdecak pelan, “Yaila pelit amat nih orang kaya satu.”

Kaza memang akrab dengan Juan sejak kecil. Karena dulu, Kaza sering tinggal di rumah Juan ketika kedua orangtuanya sedang keluar kota.

“Jadi lo mau cerita apa?” tanya Juan.

Kaza terdiam sejenak, berfikir untuk memulai cerita darimana. “Data keuangan sekolah sama lo kan bang?” Juan mengangguk, “Iya, emang kenapa?”

“Lo tau ga kalo selama ini sekolah suka mintain uang diluar ketentuan?”

Juan mengerenyitkan dahinya, “Maksudnya?”

“Lo tau temen gue kan si Karin? Dia kan Osis, trus dia cerita ke gue kalo selama ini sekolah suka minta uang berlebih dibanding sama ketentuan yang ada.”

“Hah? Gimana bisa?”

Kaza mengganti posisi duduknya menghadap Juan, “Kata Karin duitnya di tilep sama kepsek.”

Juan membulatkan matanya, ia terkejut dengan penuturan Kaza. “Lo jangan ngarang ya Za, jelas jelas data nya aman kok ga ada yang kurang.”

“Ngapain sih Karin ngarang? Kemarin, gue juga denger salah satu anak ada yang ngeluh pas tau acara semesteran nanti biayanya ga main main.”

“Lah setau gue pihak sekolah ga pernah mintain uang buat acara gituan,” sanggah Juan.

“TUH KAN!” ucap Kaza dengan kesal.

“Gue tau setiap akhir semester pasti ada acara, tapi gue gatau kalo ternyata pihak sekolah minta dana ke siswanya. Tahun kemarin itu ada acara besar besaran, terus gue tanya ke kepseknya katanya ga diminta biaya apapun.”

“Kita harus selidikin ga sih bang? Kalo didiemin makin menjadi.”

Juan mengangguk cepat, “Harus! Ga bisa didiemin nih yang kaya gini, gila bisa bisanya.”

“Eh tapi bang Ian tau ga?”

Kaza menggelengkan kepalanya. “Lah kok gatau?”

“Abang ga percaya kalo kepseknya ga bener, gue juga gada bukti nyata buat kasih tau abang.”

“Oiya.. didata sama uang yang masuk aman aman aja,”

Tangan Kaza mulai membuka bungkus batagor yang dibawa Juan tadi.

“Terus gimana caranya buat punya bukti?” tanya Juan.

Kaza yang baru mau menyuapkan batagor ke mulutnya pun menoleh, “Gampang, itu biar gue urus.”

Tangannya sudah bersiap ingin memasukkan batagor itu ke mulutnya.

“Terus gue ngapain?”

Lagi, Kaza memberhentikan kegiatannya. “Nanti kalo gue minta bantuan lo, gue kasih tau.”

“Eh tapi Za—”

“BANG JUAN ELAH INI MAU MAKAN DARI TADI GA JADI JADI!” kesalnya.

Juan hanya tertawa terbahak bahak melihat Kaza yang kesal karna ulahnya.

Hari ini Kaza datang kembali ke sekolah bersama Oliv, yang tentunya membawa mobil seperti kemarin. Baru saja turun dari mobil dan berjalan di koridor, mereka dihadang oleh Clara dan kelompoknya.

“Eh apaan nih? Minggir!” usir Oliv. Namun, mereka malah menatap Oliv tajam.

Kaza yang berada disamping Oliv dan tepat berhadapan dengan Clara hanya memandang jengah. “Minggir.” ucapnya.

Clara tersenyum sinis menanggapi ucapan Kaza. “Santai dong, buru buru banget, mau kemana sih?”

Kaza sangat malas berhadapan dengan orang seperti Clara. Ia juga melihat bahwa Oliv seperti tidak nyaman ditatap sinis oleh teman temannya Clara. Ia mencoba menerobos namun tangannya malah ditarik oleh salah satu teman Clara. “Ikut kita.”

Oliv yang kaget karna Kaza ditarik pun sedikit teriak, “WOY! TEMEN GUE MAU LO BAWA KEMANA ANJIR?!”

Namun teriakannya tak dihiraukan oleh mereka. Bukannya Oliv tidak mau mengejar, Oliv takut jika melihat adegan kekerasan didepannya. Akhirnya ia memutuskan untuk segera ke kelas dan mengabari Karin.


Kaza dibawa ke halaman belakang sekolah yang mana keadaan disana masih sepi karna masih pagi dan sedikit siswa yang sudah datang.

“To the point aja, gue mau ke kelas.” tegas Kaza.

Clara menatap Kaza dengan senyum sinis sambil memainkan ujung rambutnya. “Kenapa lo ngeblock gue?”

Kaza menghela nafasnya, “Alah gue kira apa, ga penting. Udah awas gue mau ke kelas.”

Langkah Kaza terhenti ketika Clara menghentakkan tubuh Kaza, “Gue belum selesai ngomong!”

Kaza menghempaskan tangannya dari Clara, “Jauhin tangan kotor lo dari gue!”

Clara menatap Kaza dengan nyalang, “Jangan sampe kesabaran gue abis ya!”

“Gue cuma mau kasih lo satu kesempatan lagi. Terima tawaran gue yang kemarin atau lo bakal kena akibatnya.”

Kaza menatapnya dengan tajam, berbicara dengan tegas dan lantang. “Lo denger ini baik baik. Gue gak akan pernah mau jadi bagian dari kelompok sampah kaya lo, walaupun lo kasih gue kesempatan berkali kali, inget itu.”

Sadar karna mulai banyak siswa yang memperhatikannya, Kaza memilih meninggalkan Clara yang tampaknya marah akan perkataannya.